Entah dari mana harus ku mulai cerita perjalanan ini. Haruskah mengenang kembali cerita lalu supaya tak samar ku buat di sini.
Ku pejamkan mata sesaat, berpindah ke tempat agak sepi supaya bisa mengingat apa yang terjadi.
Baiklah,
ku mulai saja cerita perjalanan ini. Perjalanan yang dimulai semenjak
ku meninggalkan langkah di kota yang sangat tenang itu. Meninggalkan
kenyamanan akan pelukan seorang bunda. Menuju impian yang sampai
sekarang tak pernah ku tahu apa mauku.
Ke sana, ke
negeri yang belum pernah ku singgahi sebelumnya. Ke negeri yang katanya
berkumpul orang-orang yang mengadu asa, mengejar mimpi dan bertaruh
takdir.
Negeri yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Negeri yang bisa saja ubahku...
Ingat
sekali aku menaiki bus patas saat itu. Masih terbayang pula, muka
ketiga adikku dan seseorang yang pernah singgah di hatiku melambai pelan
dan setengah tak mengizinkanku pergi. Semuanya terekam jelas, betapa
sedih nenekku saat itu melepas cucunya yang seakan tak pernah kembali ke
tanah itu lagi.
Namun keinginanku bulat. Tak peduli ku
disangka egois karena meninggalkannya. Tak peduli ku sedikit memaksa
karena ibukupun tak mengizinkanku pergi.
Aku tetap
kukuh pada keinginanku. Karena tak habis hidup hanya diam dan seakan
menyerah pada keadaan. "Aku ingin perubahan," tuturku saat itu.
Perubahan yang bikinku tak jadi anak manja lagi. Perubahan yang bikinku
tak hanya tahu kota kecil, dingin dan sepi ini. Perubahan yang bikinku
semakin dekat dengan impianku, keliling dunia dan keliling Indonesia.
Walau
punya hati sekeras baja, namun rintik air mata tetap mengalir dari
pinggir-pinggir mataku. Masih terbayang wajah adikku yang selalu berebut
remote televisi. Masih terbayang juga wajahnya yang harus ku tinggalkan
demi impianku.
Tapi hidup harusnya selalu bersyukur.
Aku berterimakasih karena mama masih di sebelahku, tertidur lelap di
dalam bus yang bergerak agak cepat ini.
Perjalanannya
bikin kepala, pinggangku seakan remuk. Begitu jauhnya kah negeri itu
hingga aku harus begini susah untuk mencapainya.
Siang
sudah berlalu, malampun perlahan-lahan tiba, tapi kami belum tiba juga.
Belum menyentuh tanah Jawa yang dijuluki Loh Jenawi itu.Baru kikis
sisa-sisa dan bau-bau Sumatra.
Jauh-jauh sekali hingga
harus ku dapati sebuah pelabuhan untuk tiba di sana. Bakauheni, begitu
orang-orang di sini menyebutnya. Pelabuhan yang terletak di ujung
Sumatra ini serupa pabrik ikan saja bagiku. Bau amis menyeruak ke dalam
bus membikin tanda-tanda di seluruh bajuku.
Benar,
kalau ini masih Sumatra karena masih ku dapati makanan pedas di sini.
Rumah makan terakhir yang ku singgahi sebelum menjejakkan kaki ke tanah
Jawa itu menyuguhkan makanan pedas yang serupa ketika aku berada di
rumah.
Tapi, yang buatku heran, mengapa mereka
berbicara bahasa planet yang tak ku mengerti. Kalau itu bahasa
Indonesia, masih bisalah ku mengerti. Kalau itupun bahasa Melayu, bisa
aku ikutan berbincang dengan mereka. Namun ini, entah bahasa apa yang
mereka gunakan bikinku serasa tak berada di Sumatra saja.
Baiklah,
kalau ini sebuah pertanda kalau aku harus segera meninggalkan Sumatra.
Bersama kapal besar yang siap angkutku menuju negeri itu.
Hutan
hijau itu bertukar dengan jalanan lebar-lebar. Udara sejuk itu berganti
dengan debu dan udara panas yang menyesakkan dada. Mulai ku lihat
gedung-gedung yang tinggi. Mobil-mobil yang tetap tak bisa berjalan
lancar di tengah jalanan lebar itu. Truk-truk besar bersatu dengan
bus-bus besar dan mobil-mobil itu penuhi jalan raya yang makin tumplek
dibuatnya.
"Inikah Indonesia?" batinku.
Ibuku
yang sedari kemarin hanya sibuk tidur atau mengeluh mual juga dibuat
terperangah karenanya. Maklumlah kami berdua baru pertama kali ini
menjejakkan kaki di kota metropolitan ini.
Tuesday, 13 December 2016
Hijau Tertutup Beton Beton Yang Tinggi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Write komentartinggalkan jejak