Tuesday, 13 December 2016

Hijau Tertutup Beton Beton Yang Tinggi


Entah dari mana harus ku mulai cerita perjalanan ini. Haruskah mengenang kembali cerita lalu supaya tak samar ku buat di sini.

Ku pejamkan mata sesaat, berpindah ke tempat agak sepi supaya bisa mengingat apa yang terjadi.

Baiklah, ku mulai saja cerita perjalanan ini. Perjalanan yang dimulai semenjak ku meninggalkan langkah di kota yang sangat tenang itu. Meninggalkan kenyamanan akan pelukan seorang bunda. Menuju impian yang sampai sekarang tak pernah ku tahu apa mauku.

Ke sana, ke negeri yang belum pernah ku singgahi sebelumnya. Ke negeri yang katanya berkumpul orang-orang yang mengadu asa, mengejar mimpi dan bertaruh takdir.

Negeri yang tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Negeri yang bisa saja ubahku...

Ingat sekali aku menaiki bus patas saat itu. Masih terbayang pula, muka ketiga adikku dan seseorang yang pernah singgah di hatiku melambai pelan dan setengah tak mengizinkanku pergi. Semuanya terekam jelas, betapa sedih nenekku saat itu melepas cucunya yang seakan tak pernah kembali ke tanah itu lagi.

Namun keinginanku bulat. Tak peduli ku disangka egois karena meninggalkannya. Tak peduli ku sedikit memaksa karena ibukupun tak mengizinkanku pergi.

Aku tetap kukuh pada keinginanku. Karena tak habis hidup hanya diam dan seakan menyerah pada keadaan. "Aku ingin perubahan," tuturku saat itu. Perubahan yang bikinku tak jadi anak manja lagi. Perubahan yang bikinku tak hanya tahu kota kecil, dingin dan sepi ini. Perubahan yang bikinku semakin dekat dengan impianku, keliling dunia dan keliling Indonesia.

Walau punya hati sekeras baja, namun rintik air mata tetap mengalir dari pinggir-pinggir mataku. Masih terbayang wajah adikku yang selalu berebut remote televisi. Masih terbayang juga wajahnya yang harus ku tinggalkan demi impianku.

Tapi hidup harusnya selalu bersyukur. Aku berterimakasih karena mama masih di sebelahku, tertidur lelap di dalam bus yang bergerak agak cepat ini.

Perjalanannya bikin kepala, pinggangku seakan remuk. Begitu jauhnya kah negeri itu hingga aku harus begini susah untuk mencapainya.

Siang sudah berlalu, malampun perlahan-lahan tiba, tapi kami belum tiba juga. Belum menyentuh tanah Jawa yang dijuluki Loh Jenawi itu.Baru kikis sisa-sisa dan bau-bau Sumatra.

Jauh-jauh sekali hingga harus ku dapati sebuah pelabuhan untuk tiba di sana. Bakauheni, begitu orang-orang di sini menyebutnya. Pelabuhan yang terletak di ujung Sumatra ini serupa pabrik ikan saja bagiku. Bau amis menyeruak ke dalam bus membikin tanda-tanda di seluruh bajuku.

Benar, kalau ini masih Sumatra karena masih ku dapati makanan pedas di sini. Rumah makan terakhir yang ku singgahi sebelum menjejakkan kaki ke tanah Jawa itu menyuguhkan makanan pedas yang serupa ketika aku berada di rumah.

Tapi, yang buatku heran, mengapa mereka berbicara bahasa planet yang tak ku mengerti. Kalau itu bahasa Indonesia, masih bisalah ku mengerti. Kalau itupun bahasa Melayu, bisa aku ikutan berbincang dengan mereka. Namun ini, entah bahasa apa yang mereka gunakan bikinku serasa tak berada di Sumatra saja.

Baiklah, kalau ini sebuah pertanda kalau aku harus segera meninggalkan Sumatra. Bersama kapal besar yang siap angkutku menuju negeri itu.

Hutan hijau itu bertukar dengan jalanan lebar-lebar. Udara sejuk itu berganti dengan debu dan udara panas yang menyesakkan dada. Mulai ku lihat gedung-gedung yang tinggi. Mobil-mobil yang tetap tak bisa berjalan lancar di tengah jalanan lebar itu. Truk-truk besar bersatu dengan bus-bus besar dan mobil-mobil itu penuhi jalan raya yang makin tumplek dibuatnya.

"Inikah Indonesia?" batinku.

Ibuku yang sedari kemarin hanya sibuk tidur atau mengeluh mual juga dibuat terperangah karenanya. Maklumlah kami berdua baru pertama kali ini menjejakkan kaki di kota metropolitan ini.

No comments:
Write komentar

tinggalkan jejak