Saturday 7 June 2014

ERA SOEHARTO VS ERA SBY

 BOLA politik digulirkan oleh lembaga penelitian Indo Barometer, yang menyebutkan bahwa mayoritas responden lebih puas terhadap zaman Soeharto ketimbang era SBY sekarang terutama di bidang ekonomi yang semakin meningkatnya pengangguran dan kemiskinan serta mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan.

Berdasar hasil survei tersebut, publik menilai kehidupan di era Soeharto jauh lebih baik daripada era Presiden SBY. Sebesar 40,9% responden mempersepsikan bahwa Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan Orde Reformasi yang hanya didukung 22,8% responden. Sikap publik yang dijaring melalui survei oleh Indo Barometer juga menyebutkan popularitas SBY terjun bebas.

Mungkin saja hasil survei itu kurang akurat, namun setidaknya hal tersebut sebagai bentuk akumulasi kekecewaan publik terhadap pemerintahan SBY selama dua periode yang belum membawa perubahan dan faktanya kehidupan yang dirasakan masyarakat lebih berat. Daya beli masyarakat terus menurun, disebabkan nilai ekonomis pendapatannya semakin kecil. Era Soeharto, rakyat masih bisa menyimpan duit dan makan teratur. Namun sekarang, cari duit tidak halal saja susah, apalagi yang halal, bahkan tiap hari harus makan tabungan alias menguras tabungan terus menerus dan melego barang-barang yang ada. Akibat keterpurukan ekonomi, kehidupan rakyat sengsara, akhirnya banyak yang memilih bunuh diri.

Bahkan, mantan tahanan politik orde baru Sri Bintang Pamungkas yang juga musuh politik Soeharto, ternyata mengaku bahwa era SBY tujuh tahun lebih “kejam” daripada zaman Soeharto 32 tahun. Di era SBY, kata dia, ada 15 ribu orang mati bunuh diri dalam tiga tahun terakhir ini karena ekonomi.

Pelanggaran HAM di era SBY karena berbeda pendapat, lalu ditangkap tanpa atau dengan proses hukum, dan bahkan orang ditembak mati atau dibunuh dengan tuduhan teroris. Sedangkan di zaman Soeharto, korupsi hanya terbatas pada keluarga dan lingkaran Cendana. "Sekarang, korupsi dilakukan dari mulai Istana SBY, kepala daerah, DPR, DPRD. Jadi kalau dulu muak pada Soeharto, sekarang rakyat lebih muak lagi."

Memang zaman Orde Baru dulu marak KKN, tetapi dilakukan di bawah meja. Namun, era rezim SBY sekarang ini malah KKN dilakukan di atas meja dan bahkan mejanya ikut dikorupsi. Korupsi sekarang nekat bin kalap, sehingga kalau KPK boleh menangkap pelaku korupsi di bawah Rp 1 miliar, maka penuhlah hotel prodeo . Sehingga ada celetukan lucu dari Patrialis Akbar, sang Menteri Hukum HAM era SBY, bahwa korupsi di bawah Rp 25 juta tidak usah diproses hukum alias dilepas dari hukum pidana dengan alasan karena kemanusiaan dan penjara sudah penuh.  He…he…hee…

SBY pun dinilai tidak tegas dalam setiap mengambil keputusan. Bahkan di bidang hukum, rasa keadilan rakyat sangat tidak puas. Awalnya, dalam kepemimpinan SBY diharapkan penegakan hukum bisa jauh lebih dari era Orde Baru. Ternyata. penegakan hukum diwarnai tebang pilih dan tidak menyentuh jaringan kekuasaan dan lingkaran Istana.

Hanya rakyat miskin kebanyakan dan kaum tak berduit yang diseret dan diproses hukum. Pisau hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke bawah.  Bahkan, penegakan hukum terkesan hanya pencitraan belaka.

Konon, Ratu Sima yang memimpin sebuah Kerajaan di Jepara, memerintah dengan tegas dan keras, tetapi adil dan bijaksana. Kepada setiap pelanggar, selalu diberikan sanksi tegas. Rakyat tunduk dan taat terhadap segala perintah Ratu Sima. Bahkan tidak seorang pun rakyat atau pejabat kerajaan yang berani melanggar hukum.

Suatu saat seorang saudagar Arab berkeinginan untuk membuktikan ketaatan rakyatnya terhadap hukum yang diterapkan. Ia meletakkan pundi-pundi uang di jalan di tengah kota. Ternyata tak ada seorang pun menyentuh atau mengambilnya. Hingga suatu hari secara tidak sengaja kaki Putra Mahkota menyentuh pundi-pundi itu. Maka Ratu Sima memerintahkan agar anaknya di potong kakinya sebagai hukuman.

Khalifah Umar bin Khattab seorang pemimpin yang berwatak keras dan tegas, tetapi peka terhadap kesusahan rakyat serta memperhatikan nasib dan kesejahteraan rakyatnya. Ia dikenal sebagai pemimpin yang sangat disayangi rakyatnya karena perhatian dan tanggungjawabnya yang luar biasa pada rakyatnya. Salah satu kebiasaannya adalah melakukan pengawasan langsung dan sendirian berkeliling kota mengawasi kehidupan rakyatnya.

Sang khalifah menjalankan tugasnya, turun tangan langsung untuk memastikan rakyatnya tidur dan hidup dengan tenang. Ia pun dikenal sebagai seorang pemimpin yang selalu melakukan perbuatan-perbuatan baik secara diam-diam.

Bagaimana dengan pemimpin di Indonesia sekarang? Dulu rakyat relatif tidak mengeluh dengan kimiskinan, pengangguran juga lebih kecil. Nampaknya, Soeharto lebih pintar memenuhi kebutuhan perut rakyatnya duluan. Setidaknya dengan terawatnya perut rakyat, maka kebutuhan utama sudah terpenuhi.  Sekarang angka kemiskinan membengkak di pedesaan.

Padahal, kita negara agraris yang kaya raya akan sumber daya alam. Zaman Soeharto juga lebih menekankan swasbada dan mencintai buatan Indonesia. Sekarang dari garam dan cabe hingga pesawat terbang diimpor dari luar. Padahal, kita memiliki pesawat buatan IPTN yang dulu dimanfaatkan Soeharto untuk kebutuhan dalam negeri. Jadi, kebijakan sekarang berbeda dengan kebijakan orde baru. Kini, pemimpin kita lebih pro pemodal asing serta cenderung ke arah neoliberalisme (neolib) dan kapitalisme untuk menjadi budak atau jongos asing.

Memang banyak pula hal-hal jelek di bidang lain di zaman Soeharto yang tidak perlu kita ulangi. Namun, lepas dari kekurangan dan kebobrokan era Soeharto dalam bidang KKN, tapi rakyat kecil tidak terlihat mengalami kesusahan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Makanya, tidak heran kalau para kaum marjinal dan rakyat melarat sekarang jika disurvei akan banyak yang bilang bahwa era Soeharto lebih enak dan bisa makan tiga kali sehari.

Beras gampang didapat, biaya kesehatan tidak mahal dan pendidikan murah bisa terjangkau. Kini sebaliknya, bahkan harga-harga melonjak dan melambung tinggi. Untuk memenuhi makan saja banyak yang susah, sehingga tak heran marak berita bunuh diri karena tekanan ekonomi.

Survei Indo Barometer bisa saja tidak valid atau tak reliable dari segi pengambilan sample, tetapi hasil kesimpulan survei ini hendaknya bisa dijadikan koreksi dan cambuk bagi SBY agar tidak enak-enakan dalam menduduki kursi empuk di tampuk kekuasaan.

SBY tidak perlu protes dan merah telinga terhadap hasil survei tersebut. Demikian pula “orang-orang”-nya SBY tidak perlu mengecam hasil survei Indo Barometer dan menghujat kembali kekurangan Soeharto. Justeru yang harus dilakukan sekarang adalah bagaimana kerja keras dalam memperbaiki keadaan, pemulihan ekonomi, penegakan hukum yang serius dan jangan lagi melakukan pencitraan.

Yang penting, rakyat tidak mengeluh dengan berbagai kenaikan harga barang dan sudah tidak ada lagi orang bunuh diri akibat tekanan ekonomi, rakyat awam bisa mendapatkan keadilan, hukum tidak dipolitisasi, orang-orang dekat penguasa  yang melanggar hukum dan korupsi harus diusut dulu sebelum pihak SBY ceramah anti korupsi, dan segera penuhi janji-janji kampanye. Ingat, pejabat seperti manca negara misalnya Jepang dan Korea akan mundur dari jabatannya begitu diberitakan terindikasi korupsi, tidak perlu membela diri dengan menghalalkan berbagai cara seperti kalangan pejabat kita. Penegakan hukum tebang pilih, kalangan dekat dan keluarga serta kroni-kroni penguasa diloloskan dari jerat hukum.

Benarkah penegakan hukum pasca reformasi khusunya era SBY berjalan sesuai amanat reformasi? Tengok saja kasus-kasus dugaan korupsi yang masih mangkrak dan tak jelas ujung pangkal penyelesaian dan muara rimbanya. Entah sengaja dilupakan dan dipetieskan, yang jelas publik tidak puas dengan pemberantasan korupsi sekarang yang tidak sesuai dengan janji-janji kampanye SBY.

Seperti tidak jelasnya penuntasan mega skandal Bank Century, mandegnya pengusutan kasus mafia pajak Gayus Tambunan, raibnya proses hukum kasus rekening gendut perwira tinggi Polri, misteriusnya tersangka/saksi kunci kasus Miranda-gate, lambatnya kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games yang diduga melibatkan petinggi Partai democrat, dugaan rekayasa kriminalisasi kasus Antasari Azhar, dan politisisi kasus hukum lainnya. Jangan sampai era reformasi dengan ongkos politik yang sangat mahal ternyata menghasilkan keadaan lebih jelek dari era Soeharto.

Memang hasil kesimpulan survei Indo Barometer bukan berarti publik merindukan sosok seperti Soeharto. Tapi menjadi bukti bahwa kehidupan rakyat dan pemenuhan kebutuhan ekonomi di era SBY jauh “tidak enak” bila dibanding zaman orde baru. Reformasi yang menelan banyak korban jiwa dan tenaga ternyata tidak sangat signifikan terhadap hasil capaiannya dalam pelaksanaan pemerintahaan sekarang. Korupsi masih marak dan mengurita, penegakan hukum masih tebang pilih, harga-harga barang malah melonjak tinggi, biaya pendidikan dan kesehatan super mahal.

Jadi, pengumuman hasil survei tersebut hendaknya dijadikan cambuk oleh pemerintah SBY untuk bekerja lebih serius dan sadar untuk tobat melakukan korupsi demi kemajuan bangsa dan mensejahterakan rakyat ini. Maaf, jangan tunggu lagi sampai ada hasil survei menyimpulkan: “Mayoritas rakyat ingin menurunkan rezim SBY”.  (***)

No comments:
Write komentar

tinggalkan jejak